Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Cerpen

AKHIR NYANYIAN LANCANG KUNING
Oleh : Andi Lesmana Abdul Jalil

Haluan menuju…
haluan menuju ke laut dalam..
Haluan menuju...
haluan menuju ke laut dalam...

Sayup-sayup suara nyanyian itu ku dengar. Ini sudah biasa aku dengarkan, suara yang mendayu sayup seiring kicauan burung yang menyambut datangnya pagi. Aku kembali menarik selimutku yang sudah lusuh dan penuh dengan sobekan di mana-mana. Hanya dengan satu harapan, kedinginan tak lagi menyelimuti tubuhku.
Pagi ini memang sangat berbeda, aku merasa sangat dingin, hingga menusuk-nusuk tulangku. Kata orang tua dulu, kalau dingin begini, pertanda ada orang melahirkan. Tapi entahlah, itukan pepatah orang dulu. Yang aku tau, aku harus menghabiskan masa libur aku dengan bangun agak siang, dan bermain sampai petang.

Kalau nahoda...
kalau nahoda kurang lah paham...
hai kuranglah paham...
Alamatkan kapal...
alamatkan kapal akan tenggelam...

Masih aku mendengar dendangan yang membuat aku tak bisa kembali bermain dengan bunga mimpiku. Aku sangat hafal dengan lirik-lirik lagunya, karena perempuan separuh baya itu selalu menyanyikan lagu itu. Dan hampir setiap pagi.
Lancang Kuning, aku tak tahu mengapa dia sangat suka menyanyikan lagu itu. Padahal lagu itu tidak boleh dinyanyikan bagi orang-orang seperti kami yang tinggal di tepi laut, dan memenuhi kebutuhan hidup dengan melaut. Entah sejak kapan hukum itu berlaku, yang melarang orang-orang yang tinggal di tepi laut menyanyikan lagu Lancang Kuning. Katanya bisa mendatangkan bala yang akan memporak-porandakan kampung ini. Tapi entahlah, aku tidak yakin akan hal-hal seperti itu.
Sudah berapa menit aku tetap tidak bisa memejamkan mata. Setelah beberapa saat, nyanyian itu tidak aku dengar lagi. “Pasti perempuan itu sudah selesai dengan pekerjaannya membersihkan rumah”.
Tak lama setelah itu. “Jadi juga Bapak pergi melaut pagi ini?” sayup-sayup ku dengar suara Emak di luar kamarku. Dia pasti sedang berbicara dengan Bapak.
“Ya!” jawab Bapak ringkas.
Aku bergegas bangun dan lansung keluar dari kamar setelah melipat selimut dan merapikan tempat tidurku.
“Jang!” Emak memanggilku.“ Bapakmu kang pegi menjaring, cepat dikau mandi, tolong Bapakmu menolak sampan!”
“Yolah, Mak!” aku menjawab dengan rasa berat.
Setiap Bapak pergi menjaring ke laut, aku pasti disuruh membantu Bapak menolak sampan dari atas pantai hingga sampan menyentuh genangan air.
“Apakah Bapak tetap ingin pegi melaut? Padahal seminggu ini, cuaca sangat buruk, dan tidak menentu datangnya!”
“Iye, Mah! Kalau aku tak melaut menangkap ikan, mau makan ape kite, Mah?”
“Setidaknya jangan untuk hari ini, cuaca tak bagus. Takut-takut terjadi apa-apa dengan Bapak ketika di tengah laut nanti!”
“Biarlah, Timah. Ajal ditangan Tuhan! Kalaupun tak hari ni, besok-besok kite pasti mati juge”.
Mak hanya bisa diam. Dia memang tidak bisa menahan keinginan Bapak yang selalu berkeras dengan apa yang akan ia lakukan.
Selesai mandi, aku lansung sarapan wajibku. Seperti biasa, rebus ubi dan secangkir teh hangat. Aku tak tau mengapa Bapak sangat ingin melaut hari ini. Padahal dengan cuaca seperti ini, banyak nelayan-nelayan di kampung ini yang tidak berani turun untuk melaut.
“Cepat makan tu! Bapakmu dah nak pegi!”
“Yelah, Mak. Ni dah siap.” aku menjawab suruhan Mak.
Aku melihat Bapak beranjak dari tempat duduknya menuju ke dapur untuk mengambil dayung dan perlengkapan lainnya. Bapak lansung keluar rumah lewat pintu belakang. Aku menyusul Bapak lewat pintu depan. Kami melangkah pergi menuju jalan di tepi pantai yang tak jauh dari rumah ku. Mak hanya bisa menatap kepergian kami dengan raut kebimbangan di depan pintu.
“Melaut juge, Nal?” Pak Atan menyapa.
“Ye, Tan! Tapi mungkin hanye sekejap. Sebelum petang aku naik,” jawab Bapakku.
“Aku tak turun, Nal! Aku tengok cuace tak baik lagi hari ini. Seminggu ini ombak besar selalu membuat sampan aku hampir karam. Tapi, kalau dikau nak turun juge, hati-hatilah, ye!”
“Yelah, Tan! Aku turun dulu ye.” Bapak menjawab, dan kami lansung melanjutkan perjalan.
Kami kembali menyusuri pantai, dan sampai di tempat di mana Bapak menambat sampannya. Bapak memasukkan semua peralatan ke dalam sampan, sedangkan aku melepas tali sampan yang terikat di pancang. Kami lansung menolak sampan hingga sampan terapung di atas air. Bapak dengan sigap meloncat ke dalam sampan ketika sampan sampai di perairan.
“Dahlah, Jang. Pegilah balek, bantu Mak dikau tu di umah. Bapak nak ke tengah, ni!” perintah Bapak kepada ku, sambil mencuci-cuci kakinya yang kotor bekas memijak pantai tadi.
Tapi aku belum langsung pulang, aku masih ingin melihat Bapak pergi berdayung ke tengah. Ya Tuhan, aku melihat langit mulai mendung pagi itu. Ini pertanda akan ada hujan yang deras hari ini. Bapak pasti tahu dengan hal ini, tapi dia tidak pernah peduli. Aku tahu, Bapak sangat berpengalaman dalam hal melaut. Apalagi menghadapi hujan dan angin ribut serta ombak-ombak besar, itu hal biasa baginya. Bapak sedikitpun tak pernah merasa takut. Karena baginya, semua garis kehidupan baik musibah atau kematian, itu semua sudah direncanakan Tuhan.
Aku tetap terpaku di tepi pantai melihat kepergian Bapak. Sampai Bapak makin menjauh, aku baru beranjak pulang. Belum sampai aku di rumah, hujan gerimis mulai turun. Aku berlari kecil hingga aku sampai di tangga rumahku. Hujan turun semakin deras, aku menatap kembali pantai di depan rumah ku, ombak-ombak semakin keras menghempas pantai. Angin berhembus kencang hingga menyondongkan pohon-pohon kelapa di tepi pantai. Aku masih teringat akan kepergian Bapak tadi. Kebimbangan mulai menggalau hatiku, takut akan terjadi apa-apa kepada Bapak. Tapi, aku hanya bisa berdo’a. Semoga tidak terjadi apa-apa pada Bapak.
“Jadi juga Bapak mu melaut, Jang?” suara Emak mengejutkan aku yang termenung di depan pintu.
“Jadi, Mak!”
Setelah aku menjawab pertanyaannya, ia langsung kembali ke dapur untuk melanjutkan memasak gulai sayur pucuk ubi. Aku melihat seribu kebimbangan di raut wajahnya. Tak hanya hari ini terjadi seperti ini. Hari sebelumnya juga hujan turun di saat Bapak melaut. Tapi tak sederas ini, angin dan ombak-ombak besar menghempas pantai.
Hujan lebat yang tak henti-hentinya menambah kebimbangan di hati ku. Sudah dua jam hujan tak jua reda. Aku hanya bisa bermenung sambil berbaring-baring menunggu hujan berhenti.

***

“Jang! Oo, Ujang!”
Suara itu mengejutkanku, hingga aku terbangun dari tidurku.
“Pegi makan. Kau dari siang tadi tak makan. Siap makan lansung ke pantai, tunggu Bapakmu. Mungkin sebentar lagi die ke tepi. Biasenye petang begini die sudah menepi,” perintah Emak.
“Yelah, Mak!” Astaga...! Aku tertidur dari pagi tadi. Ku melihat jam dinding menunjukkan pukul lima sore, dan di luar hujan sudah reda.
Seusai makan, aku lansung menuju pantai.
Lama aku menunggu, hari pun hampir gelap. Hatiku semakin bimbang ketika tak jua melihat ada orang menepi. Apa lagi Bapak. Aku langsung memutuskan untuk pulang ke rumah. Aku tak tau apakah Bapak pulangnya agak malam atau esok pagi.
Sesampainya aku di rumah, hujan kembali menjamah bumi yang sedang merebah dan kembali basah, membuat hatiku semakin gelisah. Ku pandang raut wajah wanita yang sudah lama menunggu ku. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, mungkin dia mengerti maksudku.
Kami duduk di ruang keluarga, hanya satu harapan kami malam itu. Derasnya hujan menambah kegundahan yang tak kunjung padam. Aku dan Mak masih duduk terpaku di atas kursi kayu yang tua.
“Baru kali ini Bapak mu balek lambat, Jang! Biasenye tak penah selame ini. Mak takut tejadi ape-ape pade Bapak mu!” suara Emak mencoba memecah kebekuan malam itu.
“Sabarlah, Mak! Mungkin sekejab lagi Bapak balek.”
“Tapi Mak takut!.”
“Mak! Apekah ini suatu bala yang melande kampung kite? Dan ape ini ade kaitannye dengan lagu Lancang Kuning yang selalu Emak nyanyikan itu?”
Emak tertunduk diam, seakan berusaha mengingat sesuatu.
“Dulu, sewaktu Emak masih kecil, lagu Lancang Kuning memang tak boleh dinyanyikan bagi orang-orang yang hidup di tepi laut seperti kite. Tapi Mak sedikit pun tidak pecaye, karena lagu hanyelah lagu. Bagi Emak, lagu dibuat untuk menghibur, bukan untuk mendatangkan bale. Tapi, jike memang bale ini karena lagu itu, make akan makin banyaklah kampung lain yang akan terkena bale.”
Aku tau, Emak takkan pernah percaya dengan hal-hal yang tahayul seperti itu. Tapi aku tak peduli, yang jelas aku masih menunggu dalam suasana yang makin membeku.
Ku tatap jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam. Hujan tak jua reda. Kini kegelisahan bercampur dengan detak jantung yang tak menentu.
“Jang! Tidurlah dulu, Nak! Biar Mak menunggu Bapakmu.”
Aku tak bisa melawan perintah Emak. Dengan pelan aku langsung menuju kamarku. Ku rebah tubuhku bersama selimut untuk melawan kedinginan malam itu. Pikiranku mulai tak menentu. Aku selalu membayangkan hal-hal yang tidak-tidak. Pikiranku melayang jauh seakan menjemput Bapak di tengah laut.

***

Sayup-sayup ku dengar ayam berkokok, di antara rintik-rintik embun, aku dengar burung-burung berkicau. Tapi ada kejanggalan yang kurasa. Aku merasa ada yang kurang di pagi itu. Mana lagu Lancang Kuning? Lagu yang ku dengar setiap pagi. Apakah tiada lagi Lancang Kuning yang menyambut pagiku?
Aku mendengar suara yang berbicara di ruangan yang biasa tempat Bapak dan Emak duduk berbincang di waktu pagi. Aku kenal suara itu. Tersentak aku akan ingatanku pada Bapak.


Pekanbaru , 07 September 2008
(Untuk Ayahnda : yang menjadi inspirasi cerpen ini)





MENCARI JEJAK SEORANG KHALIFAH
Oleh : Andi Lesmana Abdul Jalil

Bagai karang yang hanyut diterjang ombak, raga terdampar dipesisir pantai, dan rapuh di bawah sinaran mentari. Bayu tak bisa berbuat apa-apa lagi sejak ayah pergi tinggalkan mereka yang semakin terpuruk ditelan waktu.
“jadilah anak yang saleh,berilmu,dan patuh pada orang tua!” hanya itu kata terakhir yang bisa bayu ingat sebelum ayah meninggal.

Ayah seorang khalifah dihidupnya, pemimpin, penuntun dan tauladan yang pantas ditiru. Bayu tiada mempermasalahkan apa yang merenggut nyawa ayah, tapi dia tak rela jika mayat ayahnya tak dapat ditemukan, mereka butuh pusara tempat melayat. Ayahnya salah seorang nelayan yang hilang saat ombak tsunami memporak-porandakan kampungnya. Setiap hari Bayu menyelusuri keseluruh sudut kampung dengan langkah lesu dan airmata, tapi tak dilihat mayat ayahnya. Yang ada hanya mayat-mayat yang tak dikenal yang makin membusuk.

“Mungkin saja ayah salah satu dari mayat-mayat itu, yang akan dikubur massal disalah sati tanah lapang di desa ini. Tapi aku tak peduli, aku tetap akan mencari ayah. Aku sangat ingat dengan pakaian dan barang-barang yang ia pakai saat terakhir tinggalkan rumah. Hanya butuh sedikit bukti tuk memastikan jenazah ayah.”

Sudah tiga bulan Bayu mencari, tetap saja hasilnya nihil. Kini ia mencari dalam kekosongan tidak ada satupun lagi mayat yang ia temui. Semuanya sudah dikubur secara masal. Bayu melangkah lesu pulang ke rumah, ia tak sanggup lagi melihat wajah Ibu yang suram dengan sejuta trauma kehidupan. Tubuhnya yang makin melemah karena tiap hari hanya memakan makanan yang tak jelas gizi dan vitaminnya.


“Bu, Bayu tau. Ibu masih menyimpan dendam pada alam ini.”
“Tidak nak..”
“Bu, jangan me...”
“Aku juga tau, kamu masih tak rela dan tak ikhlas dengan musibah yang menghancurkan kampung kita inikan yu?” Suara siti memotong pembicaraan Bayu.

Siti adalah saudara sepupu bayu yang baru pulang dari Pekanbaru. Dia juga harus menerima kenyataan kehilangan kedua orang tuanya.
“Sudahlah yu, Siti..!” Ibu mencoba melerai.
“Bi, Siti jauh-jauh pulang dari kota bertuah sana, hanya untuk mencari keluarga Siti yang juga hilang atas musibah kemaren.”
“Terus gimana? Ketemu? Tidakkan?” Bayu membalas perkataan Siti.
Siti hanya terdiam atas ucapan bayu yang sepertinya menyindir siti.
“Gimana mau ketemu? Wajah orang tua mu saja mungkin sudah tak kau kenal, sembilan tahun bukan waktu yang sebentar siti.”
“Yu.. walaupun begitu, aku tidak sepertimu yang tiap hari mencari keberadaan jenazah Ayahmu yang tak jelas keberadaannya.”
“paakhh......” Tangan Bayu mendarat di pipi Siti.
“Bayu.. sudah..!” Ibu mencoba mengendalikan emosi bayu.
“Jaga bicaramu Siti! Kau mungkin tak merasakan bagaimana kehilangan orang yang kita cintai....”
“Aku ju..ga ke..hilangan mereka yu....” Siti terisak tangis.
“Ya aku tau kau juga kehilangan kedua orang tuamu. Tapi apakah sama kasih sayangku yang selalu berada di sini dengan kau yang sudah sembilan tahun tinggalkan kampung ini. Tak jelas kabar dan beritanya”
“A..ku ha...nya...”
“Hanya apa? Mengejar karir? Atau mencari kekayaan di kota yang terkenal dengan kekayaannya itu. Sedangkan kau biarkan keluargamu terlantar di sini..”

Emosi bayu semakin tak terkendalikan, siti hanya terdiam dan menangis.
Bayu bergegas keluar rumah.


“Mau kemana Nak? Ibu mencoba menahan.
“Bayu mau mencari lagi mayat ayah. Bayu tak ingin Ayah di kubur masal, karena tak semua mayat yang akan dikubur bersama jenazah ayah sama di masa hidupnya seperti Ayah..” Bayu langsung pergi tinggalkan rumah.

Bayu tau, sudah tiada harapannya lagi tuk bisa temukan Ayah, karena semua mayat sudah dikubur massal. Tidak ada satu pun mayat yang tersisa.

“Sudahlah Ti.” Suara Ibu mencoba menenangkan Siti.
“Bayu benar Bi. Tak seharusnya Siti tinggalkan orang tua Siti selama ini. Dan saat seperti ini Siti tak bisa lagi membalas jasa mereka. Siti anak durhaka Bi....” Siti menangis sambil memeluk Ibu.
“Tidak Siti. Siti masih ada waktu tuk bahagiakan mereka. selalulah kirim do’a untuk mereka, berziarah di pusara orang tua Siti.”

Siti lepas dari pelukan Ibu dan berlari tinggalkan rumah. Ibu hanya terdiam tak bisa menahan Siti untuk pergi.
***

“Bayu. Maafkan aku” Suara Siti mengejutkan lamunan Bayu yang sedang duduk di bebatuan memandang laut lepas.
“Bayu. Aku tau aku salah. Aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu yu..”
“Sudahlah Siti. Kau juga benar. Tak seharusnya aku terus begini. Aku harus rela dan ikhlas atas semuanya.”
Suasana hening bersama riak ombak-ombak yang terdengar mendayu seiring senyap hati bayu dan Siti yang sedang haru akan kenyataan hidup yang harus mereka hadapi.
“Yu. Maukah kau temani aku kesuatu tempat?.”
“Kemana?”
“Tempat dimana orang tuaku dan Ayahmu berada.”
“Dimana Siti?” Bayu makin terheran.
“Di kuburan Massal tempat mereka di kebumikan. Di sana kita bisa mengirim do’a dan membaca ayat suci al-qur’an di atas pusara mereka.” Siti mencoba menjelaskan.
“Baiklah Siti”
Mereka pergi meninggalkan pantai yang makin longlai, dan menuju suatu tempat untuk mereka menghantar hajat.


(Terimalah kenyataan akan dirisendiri, keluarga, tempat, dan kenyataan garis kehidupan. Tak selamanya kita berada di bawah keterpurukan akan masa lalu.)


Pekanbaru 1,2,3 Desember 2008

Bagai karang yang hanyut diterjang ombak, raga terdampar dipesisir pantai, dan rapuh di bawah sinaran mentari. Bayu tak bisa berbuat apa-apa lagi sejak ayah pergi tinggalkan mereka yang semakin terpuruk ditelan waktu.
“jadilah anak yang saleh,berilmu,dan patuh pada orang tua!” hanya itu kata terakhir yang bisa bayu ingat sebelum ayah meninggal.

Ayah seorang khalifah dihidupnya, pemimpin, penuntun dan tauladan yang pantas ditiru. Bayu tiada mempermasalahkan apa yang merenggut nyawa ayah, tapi dia tak rela jika mayat ayahnya tak dapat ditemukan, mereka butuh pusara tempat melayat. Ayahnya salah seorang nelayan yang hilang saat ombak tsunami memporak-porandakan kampungnya. Setiap hari Bayu menyelusuri keseluruh sudut kampung dengan langkah lesu dan airmata, tapi tak dilihat mayat ayahnya. Yang ada hanya mayat-mayat yang tak dikenal yang makin membusuk.

“Mungkin saja ayah salah satu dari mayat-mayat itu, yang akan dikubur massal disalah sati tanah lapang di desa ini. Tapi aku tak peduli, aku tetap akan mencari ayah. Aku sangat ingat dengan pakaian dan barang-barang yang ia pakai saat terakhir tinggalkan rumah. Hanya butuh sedikit bukti tuk memastikan jenazah ayah.”

Sudah tiga bulan Bayu mencari, tetap saja hasilnya nihil. Kini ia mencari dalam kekosongan tidak ada satupun lagi mayat yang ia temui. Semuanya sudah dikubur secara masal. Bayu melangkah lesu pulang ke rumah, ia tak sanggup lagi melihat wajah Ibu yang suram dengan sejuta trauma kehidupan. Tubuhnya yang makin melemah karena tiap hari hanya memakan makanan yang tak jelas gizi dan vitaminnya.


“Bu, Bayu tau. Ibu masih menyimpan dendam pada alam ini.”
“Tidak nak..”
“Bu, jangan me...”
“Aku juga tau, kamu masih tak rela dan tak ikhlas dengan musibah yang menghancurkan kampung kita inikan yu?” Suara siti memotong pembicaraan Bayu.

Siti adalah saudara sepupu bayu yang baru pulang dari Pekanbaru. Dia juga harus menerima kenyataan kehilangan kedua orang tuanya.
“Sudahlah yu, Siti..!” Ibu mencoba melerai.
“Bi, Siti jauh-jauh pulang dari kota bertuah sana, hanya untuk mencari keluarga Siti yang juga hilang atas musibah kemaren.”
“Terus gimana? Ketemu? Tidakkan?” Bayu membalas perkataan Siti.
Siti hanya terdiam atas ucapan bayu yang sepertinya menyindir siti.
“Gimana mau ketemu? Wajah orang tua mu saja mungkin sudah tak kau kenal, sembilan tahun bukan waktu yang sebentar siti.”
“Yu.. walaupun begitu, aku tidak sepertimu yang tiap hari mencari keberadaan jenazah Ayahmu yang tak jelas keberadaannya.”
“paakhh......” Tangan Bayu mendarat di pipi Siti.
“Bayu.. sudah..!” Ibu mencoba mengendalikan emosi bayu.
“Jaga bicaramu Siti! Kau mungkin tak merasakan bagaimana kehilangan orang yang kita cintai....”
“Aku ju..ga ke..hilangan mereka yu....” Siti terisak tangis.
“Ya aku tau kau juga kehilangan kedua orang tuamu. Tapi apakah sama kasih sayangku yang selalu berada di sini dengan kau yang sudah sembilan tahun tinggalkan kampung ini. Tak jelas kabar dan beritanya”
“A..ku ha...nya...”
“Hanya apa? Mengejar karir? Atau mencari kekayaan di kota yang terkenal dengan kekayaannya itu. Sedangkan kau biarkan keluargamu terlantar di sini..”

Emosi bayu semakin tak terkendalikan, siti hanya terdiam dan menangis.
Bayu bergegas keluar rumah.


“Mau kemana Nak? Ibu mencoba menahan.
“Bayu mau mencari lagi mayat ayah. Bayu tak ingin Ayah di kubur masal, karena tak semua mayat yang akan dikubur bersama jenazah ayah sama di masa hidupnya seperti Ayah..” Bayu langsung pergi tinggalkan rumah.

Bayu tau, sudah tiada harapannya lagi tuk bisa temukan Ayah, karena semua mayat sudah dikubur massal. Tidak ada satu pun mayat yang tersisa.

“Sudahlah Ti.” Suara Ibu mencoba menenangkan Siti.
“Bayu benar Bi. Tak seharusnya Siti tinggalkan orang tua Siti selama ini. Dan saat seperti ini Siti tak bisa lagi membalas jasa mereka. Siti anak durhaka Bi....” Siti menangis sambil memeluk Ibu.
“Tidak Siti. Siti masih ada waktu tuk bahagiakan mereka. selalulah kirim do’a untuk mereka, berziarah di pusara orang tua Siti.”

Siti lepas dari pelukan Ibu dan berlari tinggalkan rumah. Ibu hanya terdiam tak bisa menahan Siti untuk pergi.
***

“Bayu. Maafkan aku” Suara Siti mengejutkan lamunan Bayu yang sedang duduk di bebatuan memandang laut lepas.
“Bayu. Aku tau aku salah. Aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu yu..”
“Sudahlah Siti. Kau juga benar. Tak seharusnya aku terus begini. Aku harus rela dan ikhlas atas semuanya.”
Suasana hening bersama riak ombak-ombak yang terdengar mendayu seiring senyap hati bayu dan Siti yang sedang haru akan kenyataan hidup yang harus mereka hadapi.
“Yu. Maukah kau temani aku kesuatu tempat?.”
“Kemana?”
“Tempat dimana orang tuaku dan Ayahmu berada.”
“Dimana Siti?” Bayu makin terheran.
“Di kuburan Massal tempat mereka di kebumikan. Di sana kita bisa mengirim do’a dan membaca ayat suci al-qur’an di atas pusara mereka.” Siti mencoba menjelaskan.
“Baiklah Siti”
Mereka pergi meninggalkan pantai yang makin longlai, dan menuju suatu tempat untuk mereka menghantar hajat.


(Terimalah kenyataan akan dirisendiri, keluarga, tempat, dan kenyataan garis kehidupan. Tak selamanya kita berada di bawah keterpurukan akan masa lalu.)


Pekanbaru 1,2,3 Desember 2008