Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Naskah Teater

RAHASIA BERDARAH


Dramatis personae

Tuk Batin
Kanta
Jenak
Sipah
Onah
Boyan



Sinopsis : Sebuah acara adat pemilihan yang seharusnya mendatangkan kabaikan malah menjadi mala petaka. Ketika aturan adat tak lagi jadi pegangan, maka akan datanglah musibah yang berkepanjangan. Ketika mulut tak bisa dijaga, maka akan dapatlah sebuah bencana. Seperti bangkai yang busuk tak akan bisa disimpan, kelak akan tercium juga.



Adegan Pertama
Suasana dimalam hari. Beralun suara syair melantunkan beberapa bait.
Kampung yang indah menjaga marwah
Adat dipegang sebagai arah
Mengikut titah janganlah dibantah
Agar terhindar dari masalah

Kampung bebatu sangat termasyur
Sangat memegang sikap yang jujur
Rakyatnya berbeda tapilah akur
Ramah dan tamah tegur menegur

Gendang berbunyi bergemuruh. Boyan berlari hilir mudik membawa gulungan kertas. Dan akhirnya menghadap ke penonton membuka gulungan tersebut.

Boyan : Kepada semua masyarakat bebatu. Diberitahukan bahwa malam ini Datuk akan menyampaikan suatu perkara yang amat penting. Menyangkut akan hal pemilihan pengganti beliu sebagai datuk penghulu di kampung ini. Tentunya bukan sembarang pengganti. Pengganti yang segaris, pengganti yang sedarah, pengganti yang berwibawa, pengganti yang mampu membawa kampung bebatu menjadi lebih baik. Bukan pemimpin yang tamak, rakus, tidak bertanggung jawab, serta pemimpin yang hanya memikirkan perut sendiri. Cukup sekian dan terima kasih.

Boyan menutup gulung dan kembali berlari hilir mudik diiringi suara gendang hingga menghilang dari panggung.

Adegan Kedua
Onah duduk sambil menjahit baju yang ada di tangannya. Kemudian muncul Jenak dari belakang.
Onah : Apakah perkabaran Ayahnda Kanda? Dan apa pula perkabaran pemilihan esok adalah perkabaran yang baik bagi Dinda?
Jenak : Semua perkabaran baik, dan juga baik bagi Dinda. Syukur Kanda menikah dengan Dinda, hingga Kanda jadi salah satu calon pemilihan esok. Bukankah ini segaris dan sedarah seperti apa yang dipinta. Masalah kelayakkan bisa belajar bila-bila masa.
Onah : Cukup baik bagi Dinda. Bukankah Kanda berkata salah satu calon, tentu ada calon lain lagi, dan akan ada yang jadi dan tidak menjadi. Yang menjadi senanglah hati dan berbangga diri, sedangkan yang tak jadi harus menerima walau terasa ingin mati.

Jenak : Itu sudah menjadi hukum alam Dinda. Ada yang menang dan juga kalah, ada yang tegak ada juga yang tumbang, ada yang hidup ada pula yang mati.
Onah : Siapakah orang yang menjadi saingan Kanda?
Jenak : Masih segaris dan masih sedarah Dinda. Inilah dunia sekarang harus bersaing meski dengan saudara sendiri. Si Kanta adik mu Dinda. Si Kanta yang siap kalah, siap tumbang dan siap mati.
Onah : Kanda janganlah berkata sombong. Si Kanta juga adik ipar Kanda sendiri. Bahkan dia anak kandung dari Ayahnda, yang sangat segaris dan sangat sedarah. Kanda juga harus siap kalah, tumbang dan mati bahkan mati rasa kepunan tak dapat duduk di tempat yang diinginkan.
Jenak : Memang, aku tau itu. Walau pun aku dari darah lain yang juga ada di kampung ini, tapi darah mu telah mengalir ke tubuh ku, hingga darah kita bersatu, menjadi satu darah yang makin kuat. Darah mu dan darah ku bersatu menjadi kekuatan pemilihan nanti. Bukankah aku akan lebih bisa mengerti mengatur dua suku yang ada di kampung kita ini.
Onah : Kalau pun kanda memimpin, janganlah gunakan telunjuk sekehendak hati. Tunjuk sana tunjuk sini, suruh itu suruh ini.
Jenak : Itulah gunanya telunjuk, memberi arah yang diperintah.
Onah : Bukan berarti kita boleh semena-mena menggunakannya kanda. Gunakan untuk tunjuk ajar, bukan tunjuk menjadi sasar.
Jenak : Tenanglah Adinda, mendengarkan ucapan Dinda, membuat Kanda jadi ingat pada Bunda, yang tak pernah habis dengan ceramahnya. Yang belum tentu betul akan kebenarannya.
Onah : Tunjuk ajar orang tua semuanya benar Kanda. Kanda saja yang tak bisa memilah arti nasehat orang tua. Baik untuk kita juga Kanda. Sudahlah Kanda, berdebat dengan kanda takkan ada habisnya. Kiamat pun dunia, Kanda tetap merasa yang benar. Manusia seperti Kanda takkan bisa dilawan. Salah ke kita, benar selalu ke dia.
Jenak : Memanglah kebenaran yang selalu aku pelajari. Dan kebenaran pulalah yang akan membawa aku berjaya.
Onah : Iyalah Kanda. Dinda tunggu perkabaran Kanda.
Jenak : Kanda akan membawa perkabaran yang lebih baik untuk Dinda dengar, selepas pemburuan nanti.
Onah : Mudah-mudahan Kanda, dan Dinda tak mau perkabaran buruk akan menjadi keburukan bagi diri Kanda.
Jenak : Janganlah dirisaukan Dinda. Sungguh tiada kebimbangan di hati Kanda akan pemilihan nanti. Kanda pasti dapatkan itu. Dan mengapa harus mengalir kebimbangan itu lahir di hati Dinda?
Onah : Dinda tak ingin Kanda akan bertarung melawan jiwa, melawan keinginan, hingga Kanda separuh gila jika harus keburukan menimpa Kanda.
Jenak : Tak pantaslah Dinda berkata seperti itu, ucapan adalah permintaan, permintaan menjadi doa, doa akan terkabulkan dinda. Hilangkanlah prasangka buruk itu. Selalulah hidup dalam harapan dan kepastian. Agar kita mau maju kehadapan.
Onah : Majulah dengan memegang pedoman, jalan banyak pilihan Kanda. Ikutilah jalan yang baik, jangan keluar dari aturan adat yang akan mendatangkan hukuman yang amat berat. Di sini banyak aturan, dan sungguh kita harus patuhkan.
Jenak : Janganlah menasehati aku. Aku sudah dulu memakan garam. Aku tau Apa yang aku ambek, itulah yang terbaek. Lidah perempuan memang pedas, selalu berbicara tak berazas. Berbicara dulu baru terpikir, alangkah lebih baik jika berpikir dulu baru angkat bicara.
Onah : Tak perlu dipersoalkan itu Kanda, sebaiknya Kanda persiapkan diri dan peralatan untuk berburu esok.
Jenak : Tengok. Tengoklah, dia kembali menasehati aku. Inilah perempuan. Jangan mengguruiku, aku sudah tau itu, dan sudah ku persiapkan awal-awal lagi Dinda. Tak perlu banyak bicara, kau cukup menanti di sini, menanti aku pulang membawa kemenangan.

Lampu di panggung mulai redup dan padam.


Adegan Ketiga

Pagi yang cerah, cahaya matahari membias selase rumah Kanta.
Kanta : Dinda ku Sipah, jaga diri mu di sini. Jaga anak yang di dalam badanmu ini. Kakanda akan pergi berburu, berdoalah akan keselamatan Kanda, kejayaan Kanda, kemenangan Kanda. Kanda harus berburu untuk persiapan acara malam adat pemilihan pengganti Ayahnda nanti. Memang sudah saatnya Ayahnda mengundurkan diri, karena sudah terlalu berat beban yang ia pikul. Takkan sanggup bagi orang yang setua dia untuk memikul masalah dan memikirkan kadaaan kampung kita ini.s.
Sipah : Benar itu kanda. Dan Dinda bimbang, siapakah orang yang akan menjadi nahkoda kampung kita ini. Baik orangnya, maka baik pula akan jadinya. Jahat orangnya, maka berdampak buruklah kampung kita ini Kanda.
Kanta : Baik buruk jadinya tergantung kepada kita Dinda. Dan bukankah saingan Kanda juga baik orangnya. Kanda sangat mengenal Si Jenak. Kanda pun rela jika dia terpilih.
Sipah : Baik di luar belum tentu baik di dalam kanda.
Kanta : Tak perlulah kita menyimpan prasangka buruk Dinda. Tak ada baiknya berpikiran seperti itu.
Sipah : Baiklah Kanda. Berhati-hatilah nanti, Kanda berjalan dapatkan pedoman, yang dijunjung menjadi pelindung, apa yang dipegang menjadi penyerang, apa yang didapat semoga akan menjadi berkat.dan jangan lupa akan permintaan Dinda. Apa pun itu Kanda, Dinda tak ingin anak kita seperti anak Si Senah, hanya karna keinginan Senah tak terpenuhi sewaktu bunting jolong.
Kanta : Tak perlu pandangi orang. Baik orang kita jaga, buruk orang kita lupa. Mulut kite jaga, agar tak buruk padahnya. Kanda akan berusaha dapatkannya, kan Kanda simpan sehingga sampai di tangan dinda.
Sipah : Semoga Kanda. Tangan ini bisa menyambut Kanda dan memegang apa yang akan Kanda bawa nanti. Dinda berharap Kanda.
Kanta : Baiklah Dinda, Kanda akan pergi dulu, izinkan Kanda melangkah, tolong jaga dirimu di sini, menantilah dengan hati yang tak gelisah, agar dinda tak mendapat resah...
Sipah : Ya Kanda. Selamat jalan, sampaikan salam Dinda buat Kanda Jenak.
Kanta : Baiklah Dinda.(meninggalkan Sipah).



Adegan Keempat
Dihalaman rumah Tuk Batin, para pemburu duduk bersila akan mengikuti acara sebelum pemburuan yang di pimpin oleh Tuk Batin, Tuka batin mempersiapkan peralatan sesajian dan mantera yang akan dibaca.
Tuk Batin : (Membaca Mantera)
Oh langit
Oh kayu
Oh tanah
Raja langit di atas
Raja kayu beralas
Raja tanah menghempas
Anak cucu akan lakukan
Restu dinanti-nantikan
Jalan tolong bukakan
Hari tolonglah terang-terangan

Oh langit
Oh kayu
Oh tanah
Raja langit peganglah angin
Raja kayu peganglah buntu
Raja tanah peganglah basah
Hilang kilat sambung menyampung
Hilang panas dengan menudung
Hilang jalan yang membuat bingung

Oh langit
Oh kayu
Oh tanah
Terimalah ucapan anak cucu
Menumpang tangis meminta restu
Menumpang tawa meminta berita
Menumpang duduk menghadap raja
Menumpang berdiri memijiak asa
Menumpang lalu meminta jalan mu.

Oh langit
Oh kayu
Oh tanah
Restuilah pelepasan ini....

Anak-anak ku. Tahu hak serta kewajiban, tahu bertanya menjadi beban, tahu adat jadi pegangan, tahu haram yang dipantangkan, tahu halal yang disuruhkan. Lebih beri memberi, kalau berjalan beriringan, yang dulu jangan menunjang, yang tengah jangan membelok, yang belakang jangan menumit. Yang lupa diingatkan, yang bengkok diluruskan, yang tidur dijagakan, yang salah tegur menegur, yang rendah angkat mengangkat, yang tinggi junjung menjunjung. Berhati-hatilah diperjalanan nanti.
Para pemburu (Jenak, Kanta dan Boyan) berdiri dan siap-siap berangkat. Selesai menyembah mneminta restu dari Tuk batin. Mereka pergi meninggalkan panggung.
Onah : Ayahnda. Apa mereka akan baik-baik saja dalam pemburuan nanti? Bukankah mereka hanya bertiga? Sedangkan di hutan sana banyak binatang buas yang bisa saja dalam sekejap memangsa mereka.
Tuk Batin : Mereka sudah besar Nah. Jika mereka tidak bisa menyelesaikan masalah seperti itu, bagaimana mereka akan menghadapi masalah yang lebih besar di kampung kita ini.
Onah : Kalau memang mereka tidak bisa menghadapi masalah di hutan sana? Bukankah itu juga masalah besar Ayahnda.
Tuk Batin : Tapi tak sebesar yang akan mereka hadapi di sini, jika salah satu dari mereka menjadi penggantiku kelak.
Onah : Apakah perburuan ini salah satu syarat untuk menjadi pengganti Ayahnda?
Tuk Batin : Ya. Dan ini bukan hanya syarat, tapi sudah menjadi adat. Aku juga begitu sebelum aku menjadi pemimpin di kampung ini. Manusia diberi akal untuk berpikir. Tergantung kita, bagaimana menggunakannya. Baik buruknya tergantung apa yang kita pikirkan. Aku menginginkan seorang pemimpin yang mampu menggunakan akal untuk bertindak. Menggunakan pikiran untuk berbijak.

Adegan Kelima
Jenak, kanta dan boyan melakukan perjalanan dan berhenti untuk beristirahat di bawah pepohonan yang teduh.
Jenak : Boyan, sudah tiga hari kita mengintai. Sudah waktunya kita berundur, karena tidakkan ada lagi yang akan kita temukan di sini. Hantu hutan tak mengizinkan kita menangkap binatangnya.
Boyan : Mengapa kita tak minta izin saja.
Jenak : Izin dengan siapa?
Boyan : Minta izin dengan hantu hutan ini. Mungkin dia marah kita tak minta izin sebelum masuk.
Jenak : Berapa panjang sudah datuk membaca mantera, berapa banyak izin yang sudah datuk baca. Apa perlu kita minta izin lagi?
Boyan : Datuk hanya minta izin dengan Langit, kayu dan tanah. Tidak ada dia menyebutkan hutan.
Kanta : Boyan, apa yang ayahnda baca, semua sudah lengkap. Tak perlu kita mempermasalahkan itu lagi. Cuma nasip belum berpihak.
Jenak : Janganlah kau menyebut ayahnda di sini Kanta. Seakan kau rasa akan terpilih dengan darah mu itu.
Kanta : Bukankah itu ayah ku sendiri Jenak. Mengapa aku harus memanggil dengan datuk jika memang itu ayah ku sendiri.
Jenak : Cih.. Kau menjual nama untuk membangga.. Menjual nama untuk juara, menjual nama untuk merdeka.
Kanta : Jenak.. Tiada aku merasa akan terpilih hanya karena sedarah. Bukankah ini tanggung jawab kita sebagai penerus, untuk menjaga agar tetap lurus.
Jenak : Ahhhh, memang engkau pandai berkelah. Apa yang tidak engkau dapatkan? Semua kau dapat, hanya karena nasip kau keluar dari perut bini Datuk.
Kanta : Lancang kau Jenak, jangan membawa nama Ibunda di sini..
Jenak : Sabar saudara ku.. aku hanya bercanda.
Boyan : Berhenti saudar-saudara ku.
Kanta : Jangan melerai boyan, kita selesaikan masalah ini di sini.
Boyan : Ssssst... Suara kalian akan membuat buruan kita akan lari. Aku melihat ada sesuatu di balik belukar itu.
Jenak : Sudahlah Kanta tak guna berdebat. Mari kita intai yan..

Jenak dan boyan mengendap-endap di balik belukar. Hingga mereka menghilang. Tiba-tiba terdengar suara Boyan dari dalam belukar..

Boyan : Kanta....... Kami mendapatkannya...
Kanta : Apa itu yan?
Boyan : Babi.. besar sekali. Tolong bantu kami membawa nya.

Kanta segera masuk kedalam belukar.
Tak lama kemudian mereka bertiga muncul.

Kanta : Akhirnya kita dapat juga boyan.. Biar pun satu tapi...
Jenak : Tapi untuk apa? Waktu berburu kita hanya tiga hari dan ini hari terakhir. Kita hanya dapatkan satu buruan, untuk apa? Maka terkecewalah rakyat kampung yang menanti, mau di kasi apa nanti sama mereka sewaktu acara malam pemilihan? Apatah lagi Datuk, maka kecewalah datuk mendapat kabar kegagalan kita.
Kanta : Setidaknya kita mendapat hasil selama tiga hari ini. Walaupun satu, itu sudah menunjukkan kita mampu.
Jenak : Mampu? Inilah yang kita sebut mampu. Dengar Kanta. Lebih baik kita berundur dengan tangan kosong, maka keadilan pembagian pada penduduk akan selesai. Jika membawa satu ekor? Maka banyaklah rakyat kita merasa kempunan akan tak cukup bagi buruan ini.
Kanta : Jadi mau kita apakan babi itu?
Jenak : Kita bantai saja. Sebagai tanda upah kepenatan kita. Dan sepulang kita nanti, kita kabarkan kegagalan kita dengan membawa tangan kosong.
Kanta : Jenak. Bukankah kebohongan adalah pantang larang yang paling utama di kampung bebatu. Maka buruk padahnya jika kita melanggar itu.
Jenak : Kita hanya bertiga. Kita bisa rahasiakan, aku percaya pada mu dan juga pada Boyan. Dan kita berjanji, barang siapa yang telah berani membuka rahasia ini, maka siaplah untuk mati..
Kanta : Tapi bangkai gajah tidak bisa ditutup dengan daun pisang Jenak.
Jenak : Jangan terlalu memperbodoh diri Kanta. Tak perlu itu semua.
Kanta : Baiklah.. Dengar kan itu Boyan. Jaga rahsia ini. Mari kita simpan semua ini menjadi rahasia, hanyut oleh waktu, dan hilang bersama angin yang berterbangan.
Jenak : Boyan. Kau dan Kanta silakan menyiang daging itu. Aku akan pergi mencari kayu bakar..

Jenak pergi menghilang dari panggung.

Kanta : Boyan, bantailah babi itu, aku akan persiapkan tempat pembakaran di sini.
Boyan : Baiklah Kanta..(Membalikkan badan menuju kebelakang)
Kanta : Tunggu dulu Boyan (sambil melihat ke arah perginya Jenak). Tolong simpan hati babi itu. Jangan sampai diketahui oleh Jenak. Aku akan memberikannya pada istri ku. Dia hamil jolong dan mengidam hati babi.

Boyan lansung menuju kebelakang.

Adegan Keenam

Di dalam rumah Kanta, malam terbiaskan cahaya bulan. Sipah mengurut-urut perutnya dan bersedih hati.
Kanta : Dinda ku sipah. Janganlah merajuk dan bersedih hati begitu. Tak molek abang tengok dinda cemberut seperti itu. Kegagalan kami berburu janganlah jadikan kedukaan yang mendalam dinda.
Sipah : Apalah nasip kau nak. Kempunan nakkan hati babi..Ayahnda kau tak bawa apa-apa nak.
Kanta : Sudahlah dinda..
Sipah : Kanda senang saja becakap. Sudahlah, sudahlah. Dinda sedih, dinda mengharap, tiada apa yang dinda dapat berikan pada anak kita. Apakah kanda seorang suami yang bertanggung jawab? Kanda tak peduli pada permintaan anak kita. Maka berjejerlah air liur dia nanti karena ngidam adinda tak terpenuhi.

Kanta pergi ke jendela, dan melihat kedaan di luar kemudian menutup jendela rapat-rapat.

Kanta : Dinda. Kanda akan berikan sesuatu. Tapi maukah dinda berjanji?
Sipah : Apa itu kanda? Hati babi? Dan janji apa?
Kanta : Berjanji tidak akan menceritakan ini kepada siapa saja. Karena ini sebuah rahasia yang harus kita jaga, agar kita tak terkena musibah.
Sipah : Baiklah kanda, dinda berjanji. Apa itu kanda.

Kanta mengeluarkan sesuatu dari bajunya. Dan memberikannya kepada istrinya.

Kanta : Kami berburu hanya mendapatkan seekor babi. Dan babi itu sudah kami makan di hutan. Karena kami rasa, kalaupun dibawa pulang, maka takkan ada gunanya. Dan kanda menyuruh boyan memisahkan hati ini untuk kanda.
Sipah : Terimakasih kanda, dinda akan janji menjaga rahasia ini. Kalau begini, taklah dinda mengungkit-ungkit tadi. Takkan dinda merajuk buangkan air mata, jika tau ada yang kanda bawa..
Kanta : Kanda menunggu waktu yang tepat dinda. Menunggu waktu makin gulita dan sunyi tiada manusia yang terjaga. Tapi dinda membuat kanda tak tahan, ingin cepat selesaikan kesdihan dinda. Dan segera mengeluarkan ini..
Sipah : Maafkan dinda kanda. Dinda hanyalah seorang perempuan yang hanya bisa bersaedih jika hati terasa perih.
Kanta : Tak mengapa dinda, kanda tahu itu. Apa lagi yang bisa dilakukan wanita kalau bukan menangis.







Adegan Ketujuh

Onah dan Sipah duduk sambil mencari kutu di tangga rumah Kanta.
Onah : Dah berape bulankah buntingmu ni Adinda?
Sipah : Ini dah masuk delapan bulan kak. Sabarlah kak, kejap lagi keluarlah ni. Dan Adinda akan jadi seorang ibu. Dan..
Onah : Dan kakak akan jadi maklong... ha ha ha... Oh ya, selama ni tak adakah Adinda merasa mengidam? Kakak tak penah tengok pun. Yang Adinda mintak sesuatu pade Kanta, apa lagi sampai memaksakannya. Mencari yang Dinda kehendaki. Tak macam kakak. Habes Abang Jenak kau tu kakak suruh-suruh sewaktu mengandungkan Si Anjo.
Sipah : Adalah kak. Pasti ada pada setiap orang bunting. Ape lagi bunting jolong macam aku ni. Cuma tak adalah sampai memaksa Bang Kanta untuk mencarinye. Kasian kan kak?
Onah : Sekali-sekali Adinda. Apa yang Adinda inginkan? Dapat?
Sipa : Semalam, Bang kanta bawakan aku sepotong hati babi. Sepulang pemburuan hari tu. Aku pun dah pesan awal-awal lagi sebelum Bang Kanta pergi berburu.
Onah : (Terkejut) Tapi mereka pulang dengan tangan kosong, bila masa Kanta dapatkan itu?
Sipah : Mereka sebenarnya dapat kak. Tapi.... (Terkejut akan ucapannya sendiri dan merasa bersalah). Dah dulu ya kak. Besok-besok kita sambung lagi. Aku nak siapkan makanan untuk Bang Kanta..

Masuk meninggalkan Onah sedndiri di anak tangga.

Onah : (Menggeram). Kanda Jenak.... Kau telah langgar dan kau harus membayar. Awas kau Kanda.

Lampu redup. Masuk babak berikutnya.


Adegan Ketujuh

Kanta dan Sipah sedang bersantai di dalam rumahnya.
Mereka dikejutkan dengan suara Jenak yang melengking dari luar.

Jenak : Kanta.... Bedebah kau, sungguh layak jika kau mati saja bangsat. Kau telah melanggar kesepakatan, dan kau harus membayarnya Kanta....

Kanta mendekati pintu. Tapi Jenak sudah menerobos masuk dan menerjang tubuh Kanta hingga terjatuh ke latntai.

Jenak : Inilah akhir hidup mu, dan sebelum Aku mati. Aku ingin melihat kau mati dahulu Kanta. Mati ditangan ku.
Kanta : Apa ini jenak. Aku tak paham dengan maksud mu jenak.
Jenak : Jangan lagi berkelah Kanta. Jangan bermuka manis di depan ku. Semua orang juga sudah tahu. Kini kita terima nasib kita Kanta. Dan nasib berakhirnya hidup mu.
Kanta : Aku tidak mengerti Jenak. Apa maksud semua ini..
Jenak : Cis.. Inilah manusia tak bisa menjaga lisan. Menjada rahasia, sepantasnya kau jadi seorang perempuan Kanta.
Kanta : Jenak, perkataanmu yang seperti mulut perempuan, tak pernah bisa ditahan segala ucapan.
Jenak : Ahhh.. terima ini (menyerang)

Serangan Jenak dihalangi Sipah, hingga keris Jenak menikam perut Sipah yang sedang bunting. Sipah jatuh dan terbaring di pangkuan Kanta.

Sipah : Maafkan Dinda Kanda, ni semua salah Dinda, Dinda tak bisa menahan kata.. Maafkan Dinda kanda...
Kanta : Dinda.............. (memeluk Sipah yang sudah terbujur kaku) Bangsat kau Jenak...

Mengeluarkan keris dari pinggangnya, dan menyerang Jenak. Terjadi pertarungan hingga Kanta mampu memlumpuhkan Jenak, dan lansung menusuk perut jenak dengan kerisnya.
Kanta kembali memeluk Sipah. Dari pintu muncul Onah yang terkejut akan kematian Jenak. Kanta terus meratap kematian Sipah. Onah menangis dan memancarkan aura dendam terhadap Kanta. Onah mengambil keris Jenak, dan menikam Kanta dari belakang. Kanta dengan menahan rasa sakit akan tikaman keris di tangan Onah mencoba membalikkan badan dan lansung menyerang Onah. Hingga Onah pun tumbang dan tewas pada serangan Kanta. Beberapa saat kemudian, Kanta pun ikut meregang nyawa.

Lampu mulai redup. Terdengar lantunan syair akhir.
Jalan yang lurus jangan belokkan
Supaya hidup tak tersesatkan
Adat dipegang jangan lupakan
Jika lupakan binasa badan

Jangan menutup segalah salah
Bangkai yang busuk tetap tercecah
Akhirnya semua terikut susah
Bertemu jua keris dan darah

Ambillah ini sebagai pesan
Kelak tak salah saat berjalan
Jangan sekali kita buatkan
Jadikan ini suatu pengajaran


Selesai